Pada Jumat, 15 Agustus 2025. Semangat gotong royong kembali terlihat di jantung Dusun Madukoro, Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, yang terletak di balik lereng Gunung Sindoro. Upaya renovasi makam Kyai Punjul, atau yang juga dikenal sebagai Kyai Muhammad Yaqub—sosok yang diyakini sebagai pendiri dusun Madukoro—merupakan cerminan kuat keinginan masyarakat untuk menyambung kembali ikatan batin dengan sejarah dan para leluhur mereka.
Kebutuhan akan pemugaran ini kian mendesak setelah sebatang pohon beringin tua yang selama ini menaungi area makam tumbang dimakan usia dan terpaan angin, meninggalkan kerusakan signifikan pada struktur bangunan yang memang telah lapuk. Proyek swadaya ini juga bertepatan dengan momentum perluasan area makam yang telah dilakukan beberapa bulan sebelumnya, berkat kedermawanan Bapak Ahmad Wagiman dan Bapak Sugi yang telah mewakafkan tanahnya demi kepentingan bersama
Makam Kyai Punjul tercatat terakhir kali direnovasi pada tanggal 3 Juni 1983. Para sesepuh dusun mengenang, bahwa pembangunan sebelumnya pun tak lepas dari gelora gotong royong warga, kala itu dipimpin oleh Mbah Ahmad Aswar (Kepala Dusun Madukoro saat itu), Mbah Kaswijo, serta almarhum Mbah Jamali dan Mbah Suroso. Dukungan besar juga mengalir dari Mbah Soegiri, yang kemudian terpilih menjadi Kepala Desa Candimulyo periode 1985-1993.
Namun, pemugaran ini jauh melampaui sekadar perbaikan fisik. Renovasi makam ini mengemban tujuan ganda yang mendalam sebagai jembatan yang memastikan generasi penerus senantiasa mengingat dan menghargai perjuangan leluhur, serta memahami akar identitas dusun mereka dan mengembalikan fungsi makam sebagai situs ziarah yang sesuai dengan kaidah keagamaan. Tujuannya jelas: agar makam ini tidak lagi disalahartikan sebagai tempat keramat, pemujaan, atau lokasi meminta-minta yang menyimpang dari akidah.
Sebaliknya, ia diharapkan menjadi ruang spiritual bagi peziarah untuk mendoakan para leluhur, memohon ampunan dan rahmat Allah bagi ahli kubur, seraya merefleksikan hakikat kematian dan kehidupan akhirat. Ziarah kubur, pada hakikatnya, adalah kesempatan berharga untuk memetik pelajaran dan hikmah dari perjalanan hidup mereka yang telah tiada, sekaligus menguatkan keimanan.
Patilasan Pringgondani dan Misteri Angka 625
Tak jauh dari makam Kyai Punjul, sekitar seratus meter ke arah utara, terdapat sebuah situs yang menyimpan jantung misteri Dusun Madukoro: Patilasan Pringgondani.
Lokasi ini dipercaya sebagai cikal bakal nama Dusun Madukoro. Di sana, berdiri sebuah tugu kuno dengan pahatan angka '625'.
Melihat bentuk dan corak tulisannya mengingatkan pada revitalisasi peninggalan Hindia Belanda, mirip dengan "Tugu Triangulasi" yang ditemukan di Desa Tarub, Grobogan, dan beberapa lokasi lain di Nusantara. Ada kemungkinan tugu ini direnovasi oleh Belanda pada masanya. Namun, makna sesungguhnya dari angka dan lambang pada Patilasan Pringgondani masih menyisakan teka-teki—apakah ia merujuk pada tahun 625 Masehi, atau ada makna lain yang tersembunyi? Yang jelas, jejak lisan para leluhur selalu menunjuk pada situs ini sebagai asal muasal nama Madukoro.
Membingkai Makna "Madukoro" dari Linguistik hingga Legenda
Nama "Madukoro" sendiri diselimuti lapisan makna yang kaya, berakar pada penuturan para leluhur dan tafsir linguistik. Dalam bahasa Sanskerta, "Madukoro" dapat diurai menjadi "Dwara" (gerbang), "Madu" (manis, bening, indah), dan "Koro" (bersinar). "Dwara" atau gerbang inilah yang kerap dihubungkan dengan Patilasan Pringgondani—sebuah gerbang metaforis menuju apa?
Para leluhur memaknainya sebagai gerbang perenungan, sebuah pengingat bahwa segala sesuatu bermula dari kesadaran batin yang luhur menuju spiritualitas atau adyatma. Konsep adyatma ini ditemukan sebagai salah satu dari empat unsur yang membentuk slogan Desa Candimulyo: "Dharma Satya Abhinaya Jaya," yang berarti "Pengabdian yang Berpegang Teguh pada Semangat Kejayaan."
Tak hanya itu, "Madukoro" juga memiliki tafsir etimologis lain: "Madu" (rasa manis dan indah) dan "Koro" (perkara), yang secara keseluruhan dapat diartikan sebagai "manisnya hasil dari sebuah perkara."
Menariknya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "Madukoro" juga diartikan sebagai "kain emas dari benang sutra." Tafsiran 'manisnya hasil dari sebuah perkara' dan arti harfiah 'kain emas' ini berjalin erat dalam sebuah kisah folklor lokal yang hidup di Patilasan Pringgondani.
Menurut beberapa leluhur, Termasuk dalang Ki Subarjo pada saat mengunjungi situs ini, beliau menyampaikan dulunya situs ini adalah lokasi sebuah kerajaan kecil. Alkisah, sang raja dilanda amarah besar terhadap permaisuri pertamanya akibat konflik internal antarpermaisuri. Sang permaisuri pertama kemudian melarikan diri ke selatan bersama anaknya dan menetap di sana, enggan kembali, yang sekarang dikenal sebagai dusun Candiroto.
Dalam kemarahannya, sang raja mengambil sebilah pusaka, melilitkan selendang kain sutra berbenang emas padanya—sebuah "Madukoro" dalam arti harfiah 'kain sutra berbenang warna emas'—lalu menancapkannya ke tanah pembatas utara dan selatan. Dengan murka ia bersabda, "Anak-anakku yang di utara dan yang di selatan tidak akan bersatu (yang dimaksud disini adalah dusun Madukoro dan Candiroto), Raja melanjutkan sabdanya. Tempat ini akan menjadi jurang pemisah, kecuali anakku yang menjadi raja telah sudi mematahkan titah ini." Tempat di mana pusaka berbalut kain emas itu ditancapkan inilah yang dipercaya menjadi patilasan Madukoro
Terlepas dari akurasi historisnya, kisah-kisah ini adalah permata tak ternilai yang mencerminkan kekayaan budaya, sastra lisan, dan hikayat di Nusantara. Semua elemen ini—dari revitalisasi makam Kyai Punjul yang menguatkan ikatan dengan masa lalu, hingga misteri Patilasan Pringgondani dan ragam tafsir nama Madukoro yang diwarnai legenda—menjadi jalinan benang merah yang membentuk identitas Dusun Madukoro. Ini adalah kisah tentang sebuah komunitas yang tak hanya merawat fisik peninggalan leluhur, tetapi juga menjaga api ingatan akan jejak sejarah, nilai-nilai spiritual, dan cerita-cerita yang membentuk jiwa mereka.
PLATFORM
Desa Candimulyo memanfaatkan berbagai platform media, diantaranya Website, media sosial Facebook, Instagram, Youtube dan Tiktok untuk menyampaikan fragmen program kegiatan sebagai sarana edukasi, sosialisasi advokasi dan intervensi program. Dengan menggunakan media analog dan digital, Desa Candimulyo berharap dapat menjangkau lebih luas, membangun sinergitas, aksesibilitas publik dan memaksimalkan program.