CANDIMULYO – Pagi di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, tidak hanya dihiasi kabut tipis pegunungan, tetapi juga gemericik suara merdu yang memukau. Hari Jumat (17/10/2025) menjadi saksi betapa luhurnya budaya Jawa, yang kini diemban oleh pundak-pundak mungil siswa Taman Kanak-Kanak (TK) Gugus 2 Kertek.
Mereka berkumpul dalam ajang Lomba Tembang Jawa, sebuah inisiatif yang luar biasa untuk memastikan *cengkok* (gaya vokal Jawa) dan maknanya tidak hilang ditelan zaman. Aula balai desa dipenuhi anak-anak yang mengenakan busana Jawa tradisional—kebaya lurik, beskap kecil, dan blangkon yang sedikit miring—menampilkan pemandangan yang tak hanya menggemaskan, tetapi juga mengharukan.
Melodi Masa Depan di Tengah Keriuhan
Bukan hanya sekadar kompetisi, acara ini terasa seperti festival pelestarian budaya. Meskipun beberapa peserta sempat salah lirik atau terpaku di tempat karena gugup, semangat mereka membawakan lagu-lagu klasik seperti "Gundhul-Gundhul Pacul" atau "Lir Ilir" dengan penghayatan yang polos, sukses mengundang decak kagum sekaligus senyum lebar dari para orang tua dan dewan juri.
Salah satu momen paling menarik adalah ketika seorang anak laki-laki dengan percaya diri menyanyikan tembang dengan nada yang sangat pas, namun lupa membersihkan ingus di hidungnya—sebuah detail manusiawi yang justru membuat suasana semakin hangat dan jauh dari kesan kaku formalitas.
“Melihat mereka dengan bangga menyanyikan tembang-tembang ini, hati kami penuh. Ini bukan hanya soal melestarikan lagu, tapi menanamkan rasa memiliki terhadap akar budaya kita sendiri. Mereka adalah tunas peradaban.”
 
Filosofi di Balik Tembang Bunga Bangsa
Di sela-sela penampilan, Ibu Wiwin Pramudewi, S.Pd., selaku Kepala TK Pertiwi, yang menjadi salah satu motor penggerak acara ini, menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya edukasi budaya sejak dini. Dengan wajah berseri, beliau menjelaskan bahwa kegiatan ini adalah investasi jangka panjang.
Wiwin Pramudewi, S.Pd. (Kepala TK Pertiwi) mengatakan:
“Kami percaya, pendidikan karakter paling efektif dimulai dari usia TK. Tembang Jawa bukan sekadar rangkaian nada, ia berisi pitutur luhur (nasihat mulia). Ketika anak-anak ini menyanyi, mereka tidak hanya mengeluarkan suara, tetapi juga menyerap nilai-nilai kejawaan seperti sopan santun dan gotong royong.”
— Dikutip saat acara Lomba Tembang Jawa Gugus 2 Kertek.
 
Menurut Ibu Wiwin, antusiasme peserta tahun ini jauh melampaui ekspektasi. Para guru di Gugus 2 Kertek telah bekerja keras mengajarkan *wirama* (ritme) dan *wiraswara* (pelafalan) yang benar, menjadikan lomba ini sebagai tolok ukur keberhasilan program muatan lokal di masing-masing TK.
Harapan yang Terjaga di Wonosobo
Kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa di tengah gempuran modernisasi dan lagu-lagu anak instan, kekayaan budaya lokal masih memiliki tempat yang kuat, terutama di daerah yang kental akan tradisi seperti Wonosobo.
Saat matahari mulai meninggi dan pengumuman pemenang disampaikan, air mata haru terlihat di sudut mata beberapa guru dan orang tua—air mata kebanggaan, bukan hanya karena piala yang didapatkan, tetapi karena melihat benih-benih budaya yang mereka tanamkan bertumbuh subur. Mereka telah berhasil menjaga api tradisi agar tetap menyala terang di hati generasi penerus.
Lomba Tembang Jawa ini berakhir, namun melodi yang ditinggalkannya akan terus bergema di lorong-lorong desa Candimulyo, mengingatkan bahwa kekayaan negeri ini terletak pada suara-suara kecil yang berani melantunkan sejarah.